Latihan Membaca 2

Bacalah kalimat di bawah ini dengan suara keras dan berulang ulang
هل تفهم هذا الدرس ؟
apakah anda memahami pelajaran ini ?
الناس يأكلون في الصالة
الناس يأكلون في الغرف
الناس يأكلون في المسرح
الناس يأكلون في المطعم

فندف جاكرتا فيه غرفة مكتب
فندق جاكرتا فيه غرفة صغيرة
فندق جاكرتا فيه حديقة جملية
فندق جاكرتا فيه غرف كثيرة

صديق أحمد حجز لهم غرفة لمدة أسبوعين
صديق أحمد حجز غرفة لهم لمدة أسبوع
صديق حامد حجز لهم غرفتين لمدة أسبوع
صديق إبرهيم حجز لهم غرفتين لمدة أسبوعين

فيصل حجز غرفتين بالطابق السابع
فيصل حجز ثلاث غرف بالدور الخامس
زكريا حجز غرفة بالطابق السفلى
إسماعيل حجز غرفتين بالطابق العلوي

Pengertian Mu’rab dan Mabni

PENGERTIAN MU’RAB DAN MABNI

PENGERTIAN I’RAB ATAU MU’RAB

الاعراب هو تغيير أواخر الكلم لاختلاف العوامل عليها لفطا أو تقديرا

“I’rab atau Mu’rab adalah perubahan akhir kata karena masuknya amil yang berbeda-beda, baik secara lafadz maupun secara dikira-kirakan keberadaannya.”

Perubahan secara lafadz itu seperti contoh berikut:

جَاءَ زَيْدٌ  = Zaid telah datang.

رَأَيْتُ زَيْدًا  = Aku telah melihat Zaid.

مَرَرْتُ بِزَيْدٍ  = Aku telah bertemu dengan Zaid.

Sedangkan perubahan yang dikira-kirakan keberadaannya adalah seperti dlam contoh berikut:

جَاءَ الْفَتَى  = Seorang pemuda telah datang.

رَأَيْتُ الْفَتَى  = Aku telah melihat seornag pemuda.

مَرَرْتُ بِالْفَتَى  = Aku telah bertemu dengan seorang pemuda.[1]


PEMBAGIAN I’RAB

وأقسامه أربعة رفع ونصب وخفض و جزم

 “I’rab terbagi menjadi empat macam, yaitu i’rab rafa’, nashab, khafadh (jer), dan jazm.”

Di antara contoh dari i’rab-i’rab di atas ialah sebagai berikut:

  1. I’rab rafa’, seperti:     زَيْدٌ قَائِمٌ  = Zaid berdiri
  2. I’rab nashab, seperti:     رَأَيْتُ زَيْدًا  = Aku telah melihat Zaid.
  3. I’rab khafadh (jer), seperti:     مَرَرْتُ بِزَيْدٍ  = Aku telah bertemu dengan Zaid.
  4. I’rab Jazm, seperti:     لَمْ يَضْرِبْ  = Dia tidak memukul.[2]

Klick saja di nama I’rab Untuk mengetahui alamat-alamatnya.


I’RAB-I’RAB YANG BOLEH MEMASUKI ISIM DAN FI’IL

فللأسماء من ذلك الرّفع والنّصب والخفض ولا جزم فيها

“Di antara I’rab yang berjumlah empat macam itu yang boleh memasuki isim hanyalah i’rab rafa’, nashab, dan khafadh (jer). Sedangkan i’rab jazm tidak boleh mamsukinya.”

Dari i’rab-i’rab di atas yang dapat memasuki isim contohnya sebagai berikut:

  1. I’rab rafa’, seperti:     سَالِمٌ مُعَلِّمٌ  = Salim seorang guru
  2. I’rab nashab, seperti:    رَأَيْتُ سَالِمًا  = Aku telah meihat Salim
  3. I’rab Khafadh (jer), seperti:    مَرَرْتُ بِسَالِمٍ  = Aku telah bertemu dengan Salim.[3]

وللأفعال من ذلك الرّفع زالنّصب والجزم ولا خفض فيها

“Di antara I’rab yang berjumlah empat macam itu yang boleh memasuki fi’il hanyalah i’rab rafa’, nashab, dan jazm. Sedangkan i’rab khafadh (jer) tidak boleh mamsuki fi’il.”

Dari i’rab-i’rab di atas yang dapat memasuki isim contohnya sebagai berikut:

  1. I’rab Rafa’, seperti:

يَنْصُرُ  = Dia menolong

يَقْرَأُ = Dia membaca

يَعْلَمُ = Dia mengetahui

  1. I’rab Nashab, seperti:

اَنْ يَنْصُرَ = Hendaknya dia menolong.

اَنْ يَقْرَأَ = Hendaknya dia membaca.

اَنْ يَعْلَمَ = Hendaknya dia mengetahui.

  1. I’rab Jazm, seperti:

لَمْ يَنْصُرْ  = Dia tidak menolong.

لَمْ يَقْرَأْ  = Dia tidak membaca.

لَمْ يَعْلَمْ = Dia tidak mengetahui.[4]


PENGERTIAN BINA’ ATAU MABNI

والبناء لزوم أواخر الكلم حركة أو سكونا وأنواعه أربعة ضمّ وفتح وكسرة وسكون

“Bina (Mabni) adalah kata yang huruf akhirnya senantiasa tetap (tidak berubah), baik harakat maupun sukunnya. Bina (Mabni) itu ada empat macam, yaitu bina’ dhammah, bina’ fathah, bina’ kasrah, dan bina’ sukun.”

Contoh bina’ dhammah, seperti lafadz   حَيْثُ , bina’ fathah, seperti lafadz   أَيْنَ , bina’ kasrah, seperti lafadz  أَمْسِ , dan bina’ sukun, seperti lafadz  هَلْ

https://dosenmuslim.com/bahasa-arab/pengertian-murab-dan-mabni/

Fi’il Mabni Ma’lum dan Mabni Majhul dengan Contoh

Kata kerja atau fi’il dalam bahasa Arab banyak macamnya sesuai dengan kategori atau dari segi apa fi’il tersebut dibagi. Fi’il bila ditinjau dari keberadaan fa’ilnya terbagi menjadi fi’il ma’lum dan fi’il majhul. Fi’il ma’lum bisa diartikan kata kerja aktif dan fi’il majhul biasa diartikan kata kerja pasif.

  1. Fi’il Mabni Ma’lum

Pengertian fi’il mabni ma’lum

اَلْفِعْلُ الْمَبْنِيُ لِلْمَعْلُوْمِ هُوَ مَا يُذْكَرُ مَعَهُ فَاعِلُهُ

Fi’il mabni ma’lum adalah fi’il yang disebutkan fa’ilnya. Contoh:

خَلَقَ اللهُ الْإِنْسَانَ ضَعِيْفًا

يَكْتُبُ الْمُدَرِّسُ الدَّرْسَ

أَعْطَى عَامِرٌ أَحْمَدَ طَعَامًا

Terjemah:

Allah menciptakan manusia dalam keadaan lemah.

Guru menulis pelajaran.

Amir memberi makanan kepada Ahmad.

Ketiga kalimat di atas terdapat fi’il ma’lum karena terdapat fa’ilnya.

  1. Fi’il Mabni Majhul

Pengertian fi’il mabni majhul

اَلْفِعْلُ الْمَبْنِيُ لِلْمَجْهُوْلِ هُوَ مَا يُحْذَفُ فَاعِلُهُ وَحل الْمفعول بِه مكانَه وسُمِيَ نَائِبُ الْفَاعِلِ

Fi’il mabni majhul adalah fi’il yang dibuang fa’ilnya dan maf’ul bih menempati fa’il dan dinamakan naibul fa’il. Contoh:

خُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا

يُكْتَبُ الدَّرْسُ

أُعْطِيَ أَحْمَدُ طَعَامًا

Terjemah:

Manusia diciptakan dalam keadaan lemah.

Pelajaran ditulis.

Ahmad diberi makanan.

Fi’il mabni ma’lum bisa menjadi mabni majhul dengan cara:

  1. Pada fi’il madhi dikasrahkan huruf kedua terakhir dan didhammahkan huruf yang berharakat sebelumnya. Contoh:

ضَرَبَ ← ضُرِبَ

تَسَلَّمَ ← تُسُلِّمَ

اِسْتَغْفَرَ ← اُسْتُغْفِرَ

  1. Fi’il madhi ajwaf atau yang ain fi’ilnya huruf illat maka ain fi’ilnya diganti menjadi ya’ sukun dan dikasrahkan huruf sebelum ya’. Contoh:

قَالَ ← قِيْلَ

زَادَ ← زِيْدَ

  1. Fi’il mudhari’ menjadi mabni majhul dengan didhammahkan huruf pertamanya dan difathahkan huruf kedua terkahir. Contoh:

يُكْرِمُ ← يُكْرَمُ

يَجْتَمِعُ ← يُجْتَمَعُ

يُعَلِّمُ ← يُعَلَّمُ

  1. Fi’il mudhari’ yang huruf kedua terakhirnya adalah wawu atau ya’ maka ditukar menjadi alif. Contoh:

يَقُوْلُ ← يُقَالُ

يَسْتَفِيْدُ ← يُسْتَفَادُ

  1. Perbedaan Fi’il Ma’lum dan Fi’il Majhul

Perbedaan antara fi’il ma’lum dan majhul dari segi lafadznya tidak perlu dijelaskan secara panjang lebar lagi karena sudah dijelaskan sebelumnya.

Dari segi makna fi’il ma’lum dan majhul bisa disamakan dengan konsep kata kerja aktif dan pasif. Fi’il ma’lum sama dengan kata kerja aktif dan fi’il majhul sama dengan kata kerja pasif yang apabila diterjemahkan biasanya diawali “di”. Mari kita telaah kedua kalimat berikut:

خَلَقَ اللهُ الْإِنْسَانَ ضَعِيْفًا

خُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيْفًا

Artinya:

Allah “menciptakan” manusia dalam keadaan lemah.

Manusia “diciptakan” dalam keadaan lemah.

Perlu diingat!

Konsep kalimat aktif dan pasif dalam bahasa Melayu atau Indonesia berbeda dengan konsep dalam bahasa Arab. Perbedaan tersebut adalah dalam bahasa Indonesia kalimat pasif boleh dimunculkan subjeknya sedadngkan dalam bahasa Arab harus dibuang. Coba perhatikan kalimat berikut!

Saya dipukul oleh Irfan.

Kalimat di atas adalah kalimat pasif namun dimunculkan subjeknya. Maka jangan diterjemahkan ke dalam bahasa Arab seperti ini:

ضَرَبْتُ بِعِرْفَان

Walaupun dalam bahasa Indonesianya kata kerja pasif tetapi apabila dimunculkan subjeknya maka diterjemahkan ke bahasa Arab menjadi fi’il ma’lum atau kata kerja aktif. Terjemah yang benar dari kalimat di atas adalah:

ضَرَبَنِيْ عِرْفَانُ

https://hahuwa.blogspot.com/2017/10/fiil-mabni-malum-dan-mabni-majhul.html

Pengertian Fi’il Lazim dan Fi’il Muta’addi besarta Ciri-Cirinya

Pengertian Fi’il Lazim
Fi’il lazim adalah kata kerja yang tidak membutuhkan objek untuk menjadi kalimat sempurna. dalam bahasa indonesia biasa kita kenal dengan kata kerja intransitif, contoh:
Sangat jelas tentunya contoh fi’il lazim di atas, ia sama sekali tidak membutuhkan objek (maf’ul bih) untuk menjadi kalimat sempurna dan memahamkan.
fi’il lazim hanya membutuhkan fa’il (pelaku) tapi tidak membutuhkan maf’ul bih (objek).
Berikut ini adalah ciri-ciri atau fi’il yang sudah dipastikan termasuk fi’il lazim atau kata kerja yang tidak membutuhkan objek:
1. Fi’il yang menunjukan arti sifat:
  • شَجُعَ: “Berani”
  • جَبُنَ: “Takut”
  • حَسُنَ: “Baik”
  • قَبَحَ: “Jelek”
2. Fi’il yang menunjukan arti ukuran:
  • طَالَ: “Panjang”
  • قَصَرَ: “Pendek”
3. Fi’il yang menunjukan arti kebersihan:
  • طَهُرَ: “Suci”
  • نَظُفَ: “Bersih”
4. Fi’il yang menunjukan arti kotor:
  • وَسِخَ: “Kotor”
  • دَنِسَ: “Kotor”
  • قَذِرَ: “Tercemar”
5. Fi’il yang menunjukan arti keadaan yang tidak lazim dan bukan termasuk gerakan:
  • مَرِضَ: “Sakit”
  • كَسِلَ: “Malas”
  • نَشِطَ: “Rajin”
  • فَرِحَ: “Gembira”
  • حَزِنَ: “Sedih”
  • شَبِعَ: “Kenyang”
  • عَطِشَ: “Lapar”
6. Fi’il yang menunjukan arti warna:
  • إِحْمَرَّ: “Memerah”
  • إِسْوَدَّ: “Menghitam”
  • إِخْضَرَّ: “Menghijau”
  • إِبْيَضَّ: “Memutih”
  • إِصْفَرَّ: “Menguning”
  • إِزْرَقَّ: “Membiru”
7. Fi’il yang mengikuti wazan (فَعُلَ):
  • حَسُنَ: “Baik”
  • شَجُعَ: “Berani”
  • شَرُفَ: “Mulia”
  • كَرُمَ: “Mulia”
  • جَمُلَ: “Indah/baik”
8. Fi’il yang mengikuti wazan (إنْفَعَلَ):
  • إنْكَسَرَ:  “Pecah”
  • إنْحَطَمَ: “Hancur”
  • إنْطَلَقَ: “Pergi”
9. Fi’il yang mengikuti wazan (إفْعَلَّ):
  • إِحْمَرَّ: “Memerah”
  • إِسْوَدَّ: “Menghitam”
  • إِخْضَرَّ: “Menghijau”
  • إِبْيَضَّ: “Memutih”
Pengertian Fi’il Muta’addi
Fi’il muta’addi adalah kata kerja yang membutuhkan objek untuk menjadi kalimat sempurna, dalam Bahasa Indonesia biasa kita kenal dengan kata kerja transitif, contoh:
Berbeda dengan fi’il lazim, fi’il muta’addi ini sangat membutuhkan maf’ul bih atau objek agar kalimat menjadi sempurna dan dapat dipahami, terlihat dari contoh di atas, jika kalimat di atas hanya tersusun dari kata kerja dan subjek saja contoh: “فَتَحَ الرَجُلُ” “Lelaki itu membuka“, maka akan ada pertanyaan,  apa yang dibuka? karena kalimat itu masih belum sempurna dikarenakan kata kerja “membuka” termasuk kata kerja transitif atau fi’il muta’addi yang sangat membutuhkan objek, maka yang benar adalah “فَتَحَ الرَجُلُ البَابَ” “Lelaki itu membuka pintu“.
Adapun ciri-ciri dari fi’il muta’addi adalah DAPAT disambung dengan HA dhomir (ـه) yang merujuk kepada maf’ul bih, contoh:
Dari contoh di atas tentunya sudah cukup rinci dan dapat diketahui bahwa HA dhomir pada contoh di atas adalah menjadi ciri bahwa fi’il “أكْرَمَ” merupakan fi’il muta’addi karena ia membutuhkan objek.
Adapun HA dhomir yang merujuk kepada MASDAR dan DHOROF, maka Ha dhomir yang merujuk pada MASDAR dan DHOROF BUKAN termasuk Tanda dari Fi’il Muta’addi, contoh:
HA dhomir yang merujuk kepada MASDAR:
الضَرْبُ ضَرَبْتُــهُ  “Pukulan yang saya Pukul”
HA dhomir yang merujuk kepada DHOROF:
يَوْمُ الجُمْعَةِ زُرْتُــهُ    “Hari Jumat yang sudah kulalui”
Pembagian Fi’il Muta’addi
Ada dua macam pembagian fi’il muta’addi, yaitu:
  • Muta’addi dengan sendirinya (مُتَعَدِّي بِنَفْسِهِ)
Fi’il muta’addi yang bertemu dengan maf’ul bih (objek) secara langsung (atau tanpa perantara huruf jar), contoh:
إِشْتَرَى أَحْمَدُ القَلَمَ      “Ahmad Membeli Pena”
Contoh di atas termasuk fi’il muta’addi yang biasa kita lihat dan termasuk muta’addi dengan sendirinya (مُتَعَدِّي بِنَفْسِهِ). dan Maf’ul (objek) nya dinamakan “Shorih” atau “Jelas
  • Muta’addi dengan perantara huruf jar (مُتَعَدِّي بِغَيْرِهِ)
Fi’il muta’addi yang sampai kepada maf’ul bih (objek) dengan perantara huruf jar, contoh:
ذَهَبْتُ بِــكَ  >>>   أَذْهَبْتُكَ
“Saya pergi denganmu >>> Saya memberangkatkanmu”
 Huruf jar bi “بِـ” yang bertanda merah di atas adalah sebagai perantara bagi fi’il untuk menjadikannya fi’il muta’addi. dan Maf’ul (objek) nya dinamakan “Ghoiru Shorih” atau “Tidak Jelas”.
 
Terkadang Fi’il muta’addi membutuhkan dua maf’ul bih (objek) yang berbeda, objek pertama “Shorih“, dan objek kedua “Ghoiru Shorih” atau dengan perantara huruf jar. Contoh:
أَدُّوْا الأمَانَاتِ إِلَى أهْلِهَا
“Sampaikanlah amanah-amanah kepada ahlinya (kepada orang yang dituju)”
الأمَانَاتِ merupakan maf’ul bih (objek) pertama, “Shorih” atau “Jelas“, sedangkan أَهْلِهَا  merupakan maf’ul bih (objek) kedua yang “Ghoiru Shorih” karena dengan perantara huruf jar “إِلَى”

Fi’il Muta’addi yang membutuhkan objek lebih dari satu
 
Fi’il muta’addi dibagi menjadi tiga jenis, yaitu: Fi’il muta’addi yang membutuhkan satu objek, Fi’il muta’addi yang membutuhkan dua objek, dan fi’il muta’addi yang membutuhkan tiga objek. Adapun fi’il muta’addi yang membutuhkan satu objek sangatlah banyak, diantaranya:
كَتَبَ   Menulis
أخَذَ    Mengambil
أكْرَمَ  Memuliakan
ضَرَبَ  Memukul
 
Nah, di bawah ini adalah fi’il muta’addi yang membutuhkan objek lebih dari satu:

1. Fi’il muta’addi yang membutuhkan dua objek.
Fi’il yang membutuhkan dua objek ini juga dibagi lagi menjadi dua baigan, yaitu:
a. Fi’il yang menashobkan kedua objek (maf’ul bih) yang mana kedua objek tersebut bukanlah mubtada’ dan khobar, contoh:
Fi’il
Contoh Kalimat
Arti
أعْطَى
أعْطَيْتُــكَ كِتَاباً
“Saya memberikanmu buku
سَأَلَ
سَأَلْتُــهُ فُلُوْساً
“Saya memintainya uang
أَلْبَسَ
أَلْبَسْتُ الطَالِبَ وِساَعاً
“Saya memakaikan siswa mendali
عَلَّم
عَلَّمَ الأسْتَاذُالطُّلاَبَ الأدَبَ
“Guru mengajarkan para siswa adab
Daftar contoh di atas, merupakan contoh fi’il yang membutuhkan dua objek dan kedua objek tersebut sebelumnya bukanlah mubtada’ dan khobar. coba kita ambil contoh di atas:
“سَأَلْتُــهُ فُلُوْساً”  
Jika kita ambil kedua objek di atas ـهُ dan فُلُوْساً,  menjadi “هُوَ فُلُوْسٌ” artinya adalah “Dia uang”, walaupun keduanya mengikuti susunan mubdata’ dan khobar, tapi secara istilah, susunan itu tidak masuk kriteria mubtada’ dan khobar karena kalimatnya tidak masuk akal.
 

b. Fi’il yang menashobkan kedua objek (maf’ul bih) yang mana kedua objek tersebut asalnya adalah mubtada’ dan khobar, fi’il ini juga dibagi menjadi dua lagi yaitu : Af’alul qulub dan Af’alut tahwil (أفْعَالُ القُلُوْبِ وَ أفْعَالُ التَحْوِيْلِ).

1) Af’alul Qulub (أفْعَالُ القُلُوْبِ): dinamakan Af’alul qulub karena ia menggunakan kata-kata kerja yang mengandung rasa,  Af’alul Qulub juga dibagi lagi menjadi dua, yaitu:
  • Af’alul Yaqiin (أفْعَالُ اليَقِيْنِ): Fi’il-fi’il yang menunjukan arti yakin, contohnya yaitu:
type=”text/css”> @page { size: 8.5in 11in; margin: 0.79in } td p { background: transparent } p { margin-bottom: 0.1in; line-height: 115%; background: transparent }

Fi’il
Contoh Kalimat
Arti Kalimat
رَأَى
(yang berarti “mengerti dan yakin” biasanya diartikan “berpendapat”), adapun “رَأَى” yang berarti “melihat” ia hanya membutuhkan satu objek, contoh:
ضَرَبَهُ فَرآهُ” Ia dipukul, maka ia melihatnya
(إنَّهُمْ يَرَوْنَــهُ بَعِيْداً وَنَرَاهُ قَرِيْباً)
objek dari fi’il pertama: ـهُ dan بَعِيْداً
Objek dari fi’il kedua: ـهُ dan قَرِيْباً
Sesungguhnya mereka meyakini bahwa adzab itu jauh (artinya tidak akan terjadi), tapi kami yakin itu nyata (dekat)”.
عَلِمَ
(yang berarti “yakin”), adapun “عَلِمَ” yang berarti “mengetahui”, ia hanya membutuhkan satu objek, contoh:
عَلِمْتُ الأمْرَ” Saya mengetahui sesuatu
(فَإنْ عَلِمْتُمُوْهُـنَّ مُؤْمِنَاتٍ فَلاَ تَرْجِعُوْهُنَّ إلَى الكُفَّار )
Objeknya: هُنَّ dan مُؤْمِنَاتٍ
Jika Kalian yakin Perempuan-perempuan itu orang yang beriman, maka jangan kembalikan mereka kepada orang-orang kafir”
وَجَدَ
(yang berarti “mengetahui dan menyakini), adapun jika “وَجَدَ” yang berarti “menemukan”, maka hanya membutuhkan satu objek, contoh:
وَجَدْتُ قَلَماً ” Saya menemukan pena
وَجَدْتُ الصِدْقَ زِيْنةَ العُقَلاَءِ
Objeknya: الصِدْقَdan زِيْنةَ العُقَلاَءِ
Saya meyakini Kejujuran adalah perhiasan orang-orang yang berakal”

karena af’alul yaqin masuk pada bagian fi’il yang menashobkan kedua objek (maf’ul bih) yang mana kedua objek tersebut asalnya adalah mubtada’ khobar, maka mari kita cek contoh di atas apakah benar objek-objeknya tersusun dari mubtada’ dan khobar.

وَجَدْتُ الصِدْقَ زِيْنةَ العُقَلاَءِ   “Saya meyakini Kejujuran adalah perhiasan orang-orang yang berakal”
jika kedua objek di atas langsung kita pisahkan, ternyata BENAR keduanya menjadi mubtada’ dan khobar:

الصِدْقُ زِيْنةُ العُقَلاَءِ     “Kejujuran adalah perhiasan orang-orang yang berakal”

Nah karena kalimat di atas sudah terpisah dan menjadi mubtada’ dan khobar maka keduanya juga mempunyai kedudukan i’rob yang berbeda yaitu rofa’.

Adapun bagi teman-teman yang bertanya bagaimana kita tahu ketiga contoh fi’il di atas artinya adalah “yakin”? sedangkan sebenarnya ketiganya mempunyai arti yang berbeda. Jawabannya adalah “tergantung konteks kalimat”, tergantung bagaimana mutakallim (orang berbicara) menuturkan fi’il-fi’il di atas, jika yang dimaksud adalah fi’il dengan arti “yakin” maka ia mempunyai dua objek, tapi jika yang maksudkan adalah arti sesungguhnya, maka ia mempunyai satu objek saja.  Misal saja dalam penggunaan fi’il “وَجَدَ” yang arti asalnya adalah “menemukan”:
contoh kasus saya mengatakan: “وَجَدْتُ فُلُوْساً فِي الطَارِقِ”
Nah, maka sudah jelas kan, kalimat di atas cuma butuh satu objek, maka arti  Bahasa Indonesianya adalah “Aku menemukan uang di jalan” 

  •  Af’alud Dhzon (أفْعَالُ الظَّنِّ): fi’il-fi’il yang menunjukan arti perasangka, contohnya yaitu:
    Fi’il
    Contoh Kalimat
    Arti
    ظَنَّ
    menunjukan arti “menyangka/mengira”
    ظَنَنْتُــكَ عَلِيّاً

    Objeknya adalah Dhomir ـكَ dan عَلِيّاً

    Saya kira kamu Ali
    حَسِبَ
    menunjukan arti “menyangka/mengira”
    يَحْسَبُــهُمُ الجَاهِلُ أغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِ

    Objeknya adalah Dhomir هُمْ dan أغْنِيَاءَ

    Orang – orang yang bodoh menyangka mereka adalah orang kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta- minta”
    جَعَلَ
    yang menunjukan arti “mengira”.
    Adapun “جَعَلَ” yang berarti “menjadikan”, maka hanya mempunyai satu objek, contoh:
    وَجَعَلَ الظُلُمَاتِ وَالنُوْرَ”
    “Allah lah yang menjadikan kegelapan dan cahaya”
    وَجَعَلُوا الْمَلَائِكَةَ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَٰنِ إِنَاثًا
    Objeknya adalah الْمَلَائِكَةَ dan إِنَاثًا
    Sedangkan “ الَّذِينَ هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَٰنِ” adalah susunan isim mausul “الَّذِينَ” dan shilah nya “هُمْ عِبَادُ الرَّحْمَٰنِ” yang menerangkan sifat
    المَلاَئِكَة”.
    Dan mereka mengira malaikat-malaikat yang mereka itu adalah hamba-hamba Allah Yang Maha Pemurah sebagai orang-orang perempuan.
    زَعَمَ
    yang menunjukan arti
    ظَنٌّ رَاجِحٌ/benar-benar berperasangka”, karena dalam budaya Arab, ada juga namanya “الظَنَُّ الفَاسِدُ/perasangka yang rusak” maksudnya adalah suatu perkataan yang mengandung kebohongan, dan termasuk budaya orang Arab, jika ada orang yang biasa berbohong lalu ia berkata sesuatu, maka orang-orang akan mengatakan “زَعَمَ فُلاَنٌ” “si fulan telah berperasangka (berbohong)”
    زَعَمَتْــنِي شَيْخاً
    Objeknya adalah dhomir نِى dan شَيْخاً
    fi’il yang ada pada kalimat di atas mempunyai arti
    ظَنٌّ رَاجِحٌ/benar-benar berperasangka”
    Dia (perempuan) mengira saya seorang syeikh

    Sama halnya dengan af’alul yaqin, Af’alud Dhzon juga masuk pada bagian fi’il yang menashobkan kedua objek (maf’ul bih) yang mana kedua objek tersebut asalnya adalah mubtada’ khobar, maka mari kita cek contoh di atas apakah benar objek-objeknya tersusun dari mubtada’ dan khobar.

    يَحْسَبُــهُمُ الجَاهِلُ أغْنِيَاءَ مِنَ التَّعَفُّفِOrang – orang yang bodoh menyangka mereka adalah orang kaya, karena mereka memelihara diri dari meminta- minta” 
    jika kedua objek di atas langsung kita pisahkan, ternyata BENAR keduanya menjadi mubtada’ dan khobar:

    هُمْ  أغْنِيَاءٌ     “ mereka adalah orang kaya

    Nah karena kalimat di atas sudah terpisah dan menjadi mubtada’ dan khobar maka keduanya juga mempunyai kedudukan i’rob yang berbeda yaitu rofa’.

2) Af’alut Tahwil (أفْعَالُ التَحْوِيْلِ): Fi’il yang menunjukan arti “berubah dari sesuatu menjadi sesuatu”, Contoh:

Fi’il
Contoh Kalimat
Arti
صَيَّر
صَيَّرْتُ العَدُوَّ صَدِيْقاً
“Saya menjadikan musuh menjadi teman
رَدَّ
وَدَّ كَثِيرٌ مِّنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَــكُم مِّن بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّاراً حَسَدًا مِّنْ عِندِ أَنفُسِهِم
“Kebanyakan dari orang-orang keturunan Kitab ingin, kiranya mereka. dapat mengembalikan kamu menjadi kafir sesudah beriman”
تَخِذَ
تَخِذْتُــكَ صَدِيْقاً
“Saya menjadimu teman
اتَّخَذَ
واتَّخَذَ اللهُ ابْرَاهِيْمَ خَلِيْلاً
“Allah menjadikan Nabi Ibrohim kesayanganNya
2. Fi’il muta’addi yang membutuhkan tiga objek.
 
Dalam hal ini fi’il-fi’il yang membutuhkan tiga objek ada jumlahnya ada 7, yaitu:
أَعْلَمَ  – أَرَى – أَنْبَأَ – خَبَّرَ – أَخْبَرَ – حَدَّثَ
Contoh:

Fi’il
Contoh Kalimat
Arti
أَرَى
أَرَيْتُ سَعِيْداً الأمْرَ وَاضِحاً
Saya memperlihatkan Said bahwa perkara itu jelas
أعْلَمَ
أعْلَمْتُــهُ إيَّاهُ صَحِيْحاً
Saya memberitahukannya bahwa hanya dia yang benar
أنْبَأَ
أنْبَأْتُ خَلِيْلاً الخَبَرَ وَاقِعاً
Saya mengabarkan Kholil bahwa kabar tersebut nyata (fakta)
نَبَّأَ
نَبَّأتُــهُ إيَّاهُ صَحِيْحاً
Saya memberitahukannya bahwa hanya dia yang benar
أخْبَرَ
أخْبَرْتُ عَلِيًّا زَيْداً مُسَافِراً
Saya mengabarkan Ali bahwa Zaid sedang pergi (musafir)
خَبَّرَ
خَبَّرْتُــهُ قَوْلَهُ حَقًَا
Saya memberitahukannya bahwa perkataannya benar
حَدَّثَ
حَدَّثْتُــهُ الحِكَايَةَ وَاقِعاً
Saya menceritakan kepadanya bahwa cerita tersebut nyata
Demikianlah pembahasan tentang fi’il lazim dan fi’il muta’addi secara rinci semoga dapat membantu teman-teman dalam memahami bab ini. Selamat belajar! 😀
Oya untuk mengulas kembali pembahasan fi’il lazim dan fi’il muta’addi, berikut ini saya buatkan bagan pembagiannya, semoga membantu, teman-teman!

Pengertian Fi’il Tam dan Fi’il Naqish

Pengertian Fi’il Tam

Fi’il Tam secara harfiyah artinya “kata kerja sempurna”, sedangkan secara istilah fi’il tam adalah kata kerja yang membutuhkan pelaku (فَاعِلٌ) dan objeknya (مَفْعُوْلٌ). untuk lebih rincinya bisa lihat contoh gambar berikut:

contoh gambar di atas tentunya sangat jelas bahwa fi’il (kata kerja) قَرَأَ “membaca” dalam kalimat tersebut tentu sangat membutuhkan pelaku dan objeknya, karena jika kita hanya menuliskan
قَرَأَ مُحَمَدٌ” maka kalimatnya menjadi tidak lengkap karena objeknya tidak disebutkan dan dalam Bahasa Arab harus disebutkan objeknya maka menjadi:
“قَرَأَ مُحَمَدٌ الكِتَابَ”.  inilah pengertian yang sesungguhnya dari fi’il tam (kata kerja sempurna) atau kata kerja yang membutuhkan pelaku (fa’il) dan objek (maf’ul).

Pengertian Fi’il Naqish

Fi’il Naqish secara harfiyah artinya “kata kerja yang kurang/tidak sempurna”, sedangkan secara istilah fi’il naqish adalah kata kerja yang tidak membutuhkan fa’il (pelaku) dan maf’ul (objek), namun membutuhkan isim dan khobarnya.

Jadi sebenarnya fi’il naqish ini biasanya masuk pada mubtada dan khobar, nah setelah fi’il naqish ini masuk pada susunan mubtada dan khobar, maka istilah mubtada’ akan berubah menjadi isim, sedangkan istilah khobar tetap sama, maka dari itu pengertian fi’il naqish adalah fi’il yang membutuhkan isim (yang awalnya adalah mubtada) dan khobarnya.

Karena fi’il naqish ini masuk pada mubtada dan khobar, sehingga fi’il tersebut merafa’kan mubtada‘ karena disamakan dengan fa’ilnya (pelaku), dan menashabkan khobarnya karena disamakan dengan
(objek).

contoh di bawah ini sebelum dan sesudah kemasukan fi’il naqish:

contoh fi'il naqish

Contoh di atas sudah sangat jelas bahwa sebelum kemasukan fi’il naqish, mubdata’ dan khobar masih normal dengan khobar yang masih dibaca rofa’, dan mubtada masih disebut mubtada’, tapi setelah fi’il naqish masuk, maka mubtada‘ berubah menjadi ‘isim‘ dan khobar dibaca nashob.

Lalu mengapa fi’il ini disebut fi’il naqish atau”fi’il yang kurang”? jawabannya adalah karena kalam yang sempurna tidak akan menjadi sempurna bila hanya menyebutkan fi’il naqish bersama isim yang dibaca rofa’saja, tetapi haruslah menyebutkan khobar yang dibaca nashob supaya kalam menjadi sempurna, sehingga khobar yang dibaca nashob karena ada fi’il naqish itu bukanlah fudlah (kata tambahan) tetapi menjadi ‘umdah (kata pokok/kata yang harus ada).

Contoh:

contoh kenapa disebut fi'il naqish

Nah, dari contoh di atas, fi’il naqis yang hanya bersandingan dengan isim itu menjadi kalimat yang tidak sempurna karena kurang khobar, maka dari itu khobar yang dibaca nashob menjadi ‘umdah (pokok), dari sini juga mengapa fi’il tersebut disebut fi’il naqish karena tidak bisa menjadi kalimat sempurna jika hanya bersandingan dengan isimnya (fa’il/pelakunya), berbeda dengan fi’il tam (kata kerja sempurna) yang tetap bisa dikatakan sempurna walaupun hanya terdiri dari fi’il (tam) tersebut dan fa’ilnya, contoh: قَامَ زَيْدٌ (Zaid Telah Berdiri), fi’il قَامَ pada kalimat di samping sudah bisa disebut kata kerja yang sempurna karena sudah memahamkan pembacanya, padahal kalimat tersebut hanya tersusun dari fi’il (tam) dan fa’il nya.

Fi’il-fi’il di bawah ini adalah termasuk fi’il naqish, yaitu:

  •  (كاَنَ) yang bermakna waktu yang telah lalu, seperti (كاَنَ زَيْدٌ سَمِيْناً) “Zaid dulu gemuk”.
  • (ظَلَّ) yang maknanya waktu siang hari, seperti (ظَلَّ زَيْدٌ جَالِساً) “Zaid duduk pada siang hari”.
  • (اَضْحَى) yang bermakna waktu dluha, seperti (اَضْحَى زَيْدٌ قَارِئاً) “pada waktu dluha Zaid membaca”.
  • (بَاتَ) yang bermakna waktu malam, seperti (بَاتَ زَيْدٌ نَائِماً) “pada malam hari Zaid mengantuk”.
  • (اَصْبَحَ) yang bermakna waktu pagi, seperti (اَصْبَحَ زَيْدٌ نَشِيْطاً) “ketika pagi hari Zaid menjadi rajin”
  • (اَمْسَ) yang bermakna waktu sore, seperti (اَمْسَى زَيْدٌ مُطاَلِعاً لِدُرُوسِهِ) “pada sore hari Zaid mengulang kembali pelajaran-pelajarannya”.
  • (لَيْسَ) yang bermakna menafikan waktu sekarang, sehingga lafal itu terkhusus dengan menafikan masa sekarang, seperti (لَيْسَ زَيْدٌ قَائِماً) “Zaid tidak sedang berdiri”. Kecuali jika di-qayyidi (diikuti) dengan sesuatu yang bisa memberikan faidah kepada masa yang telah lewat atau masa yang akan datang, maka lafal itu untuk sesuatu yang dia di-qayyidi dengannya, seperti (لَيْسَ عَلِيٌّ مُسَافِراً اَمْسِ اَو غَداً) “Ali tidak bepergian kemarin ataupun besok”.
  • (صَارَ) yang bermakna tahawwul atau menjadi, (صَارَ زَيْدٌ غَنِياًّ) “Zaid menjadi kaya”.
  • (زَالَ) yang fi’il mudhori’nya (يَزَالُ) bukan (يَزُولُ) atau (يَزِيْلُ) dan tidak mempunyai masdar, yang bermakna tetapnya musnad pada musnad ilaih, sehingga ketika kita meng-ucapkan,
    (ماَ زَالَ خَلِيْلٌ وَاقِفاً), maka maknanya adalah Khalil selalu menetapi sifat berdiri pada zaman yang telah lalu, terjemah bebasnya “Kholil pada saat itu masih berdiri”
  • (فَتِيءَ) contoh (ماَ فَتِيءَ زَيْدٌ ضَاحِكاً).
  • (اِنْفَكَّ) contoh (ماَ اِنْفَكَّ زَيْدٌ مُطاَلِعاً).
  • (بَرِحَ) contoh (ماَ بَرِحَ زَيْدٌ كاَتِناً).
Kesimpulan:
  1. Pengertian fi’il tam: kata kerja yang membutuhkan pelaku (فَاعِلٌ) dan objeknya (مَفْعُوْلٌ), fi’il tam juga bisa diartikan sebagai kata kerja yang sempurna walau hanya bersandingan dangan fa’ilnya, contoh: قَامَ زَيْدٌ (Zaid Telah Berdiri), maka fi’il tam tidak membutuhkan Khobar untuk menjelaskan.
  2. Pengertian fi’il naqish: kata kerja yang masuk pada mubtada dan khobar, nah setelah fi’il naqish ini masuk pada susunan mubtada dan khobar, maka istilah mubtada’ akan berubah menjadi isim, sedangkan istilah khobar tetap sama, Karena fi’il naqish ini masuk pada mubtada dan khobar, sehingga fi’il tersebut merafa’kan mubtada’ karena disamakan dengan fa’ilnya (pelaku), dan menashabkan khobarnya karena disamakan dengan maf’ul bih (objek).
  3. Mengapa fi’il ini disebut fi’il naqish atau”fi’il yang kurang”? jawabannya adalah karena kalam yang sempurna tidak akan menjadi sempurna bila hanya menyebutkan fi’il naqish bersama isim yang dibaca rofa’saja, tetapi haruslah menyebutkan khobar yang dibaca nashob supaya kalam menjadi sempurna, sehingga khobar yang dibaca nashob karena ada fi’il naqish itu bukanlah fudlah (kata tambahan) tetapi menjadi ‘umdah (kata pokok/kata yang harus ada).
Sumber: